Perkembangan Politik Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi
DISAMPAIKAN OLEH Fetty Latifatul F,S.Pd.
MATA PELAJARAN SEJARAH INDONESIA
Perkembangan Politik Orde Lama, Orde Baru
dan Reformasi
Bangsa Indonesia sudah mengalami beberapa
rezim pemerintahan dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dimulai
dari era setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga saat ini bangsa Indonesia
mengalami beberapa pergantian rezim dan pasang surut terutama dalam bidang
politik dan ekonomi. Era pasca kemerdekaan dinamakan dengan era Orde Lama,
kemudian dilanjutkan oleh era Orde Baru dan berlanjut ke era Reformasi. Dari
sudut pandang politik, terdapat berbagai perbedaan keadaan dan perkembangan
pada ketiga era tadi. Berikut adalah penjelasan lengkap mengenai Perkembangan
Politik Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi:
Perkembangan politik di
masa pemerintahan orde lama
Orde Lama adalah sebutan bagi masa
pemerintahan Presiden Soekarno di Indonesia. Orde Lama berlangsung sejak tahun
1945 hingga 1968. Dalam jangka waktu tersebut, Indonesia menggunakan dua sistem
ekonomi yaitu sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi komando.
Orde lama dapat dikatakan resmi dimulai
sejak 18 Agustus 1945 saat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
melantik Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden dengan
menggunakan konstitusi yang dirancang beberapa hari sebelumnya.
Setelah pelantikan Soekarno dan Mohammad
Hatta kemudian dibentuklah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai
parlemen sementara hingga pemilu dapat dilaksanakan.
KNIP kemudian mendeklarasikan pemerintahan
baru pada 31 Agustus dan menghendaki Republik Indonesia yang terdiri atas 8
provinsi yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra, Kalimantan (tidak
termasuk wilayah Brunei, Sarawak dan Sabah), Sulawesi, Nusa Tenggara serta
Maluku (termasuk Papua).
Ilustrasi Pemilihan
Umum Tahun 1955
|
Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia
menganut sistem multi partai yang ditandai dengan hadirnya 25 partai politik.
Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945
dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955
yang berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29
parpol dan juga terdapat peserta perorangan.
Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden
5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan
Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang
pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-partai. Kemudian pada tanggal 14
April 1961 diumumkan hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah,
antara lain adalah sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai
Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17
Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan.
Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29
parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini tidak berarti bahwa konflik ideologi
dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik dapat terkurangi. Untuk
mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada tanggal
12 Desember 1964 yang menghasilkan “Deklarasi Bogor”.
Moh. Mahfudz, (1998:373-375) dalam Politik
Hukum di Indonesia, secara lebih spesifik menguraikan perkembangan konfigurasi
politik Indonesia ketika itu sebagai berikut:
·
Pertama, setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945, terjadi pembalikan arah dalam penampilan konfigurasi politik. Pada
periode ini konfigurasi politik menjadi cenderung demokratis dan dapat
diidentifikasi sebagai demokrasi liberal. Keadaan ini berlangsung sampai tahun
1959, dimana Presiden Soekarno menghentikannya melalui Dekrit Presiden 5 Juli
1959. Pada periode ini pernah berlaku tiga konstitusi, yaitu UUD 1945,
Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950.
·
Kedua, konfigurasi politik yang demokratis pada
periode 1945-1959, mulai ditarik lagi ke arah yang berlawanan menjadi otoriter
sejak tanggal 21 Februari 1957, ketika Presiden Soekarno mengutarakan konsepnya
tentang demokrasi terpimpin. Demokrasi Terpimpin merupakan pembalikan total
terhadap sistem demokrasi liberal yang sangat ditentukan oleh partai-partai
politik melalui free fight.
Pada masa pemerintahan orde lama,
Indonesia mengalami beragam gejolak politik yang sangat mempengaruhi jalannya pemerintahan,
diantaranya adalah sebagai berikut:
Demokrasi parlementer
Tidak lama setelah merdeka Indonesia
mengadopsi undang-undang baru yang terdiri dari sistem parlemen di mana dewan
eksekutifnya dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada MPR atau parlemen. MPR
terbagi kepada partai-partai politik sebelum dan sesudah pemilu pertama pada
tahun 1955, sehingga koalisi pemerintah yang stabil sulit dicapai.
Peran Islam di Indonesia juga menjadi hal
yang rumit. Soekarno lebih condong ke negara sekuler yang berdasarkan Pancasila
sementara beberapa kelompok Muslim lebih mengharapkan negara Islam atau
undang-undang yang berisi sebuah bagian yang menyaratkan umat Islam takluk
kepada hukum Islam.
Demokrasi Terpimpin
Pemberontakan yang gagal di Jawa Barat,
Sumatera, Sulawesi dan pulau-pulau lainnya yang dimulai sejak 1958, ditambah
kegagalan MPR untuk mengembangkan konstitusi baru, serta melemahkan sistem
parlemen Indonesia. Akibatnya pada 1959 ketika Presiden Soekarno secara
unilateral membangkitkan kembali konstitusi 1945 yang bersifat sementara, yang
memberikan kekuatan presidensil yang besar.
Dari 1959 hingga 1965, Presiden Soekarno
berkuasa dalam rezim yang otoriter di bawah label “Demokrasi Terpimpin”. Dia
juga menggeser kebijakan luar negeri Indonesia menuju non-blok, dan kebijakan
tersebut didukung para pemimpin penting negara-negara bekas jajahan yang
menolak aliansi resmi dengan Blok Uni Timur / Soviet maupun Blok Barat / Eropa
dan Amerika. Selain menyatakan dukungannya terhadap Soekarno, Para pemimpin
tersebut juga berkumpul di Bandung pada tahun 1955 dalam KTT Asia-Afrika untuk
mendirikan fondasi yang kelak menjadi Gerakan Non-Blok.
Nasib Irian Barat
Pada saat kemerdekaan, pemerintah Belanda
mempertahankan kekuasaan terhadap belahan barat pulau Nugini (Papua), dan
mengizinkan langkah-langkah menuju pemerintahan-sendiri dan pendeklarasian
kemerdekaan pada 1 Desember 1961. Negosiasi dengan Belanda mengenai
penggabungan wilayah tersebut dengan Indonesia gagal, sehingga Indonesia harus
mengambil Irian Barat lewat jalur militer, Pada 18 Desember pasukan penerjun
payung Indonesia mendarat di Irian Barat yang kemudian terjadi kontak senjata
antara pasukan Indonesia dan Belanda pada 1961 dan 1962. Pada 1962 Amerika
Serikat menekan Belanda agar setuju melakukan perbincangan rahasia dengan
Indonesia yang menghasilkan Perjanjian New York pada Agustus 1962, Sehingga
Indonesia dapat mengambil alih kekuasaan terhadap Irian Barat pada 1 Mei
1963.
Konfrontasi
Indonesia-Malaysia
Soekarno menentang pembentukan Federasi
Malaysia dan menyebut bahwa hal tersebut adalah sebuah “Rencana Neo-Kolonial”
untuk memuluskan rencana komersial Inggris di wilayah tersebut. Selain itu
dengan dibentuknya Federasi Malaysia dianggap soekarno akan memperluas pengaruh
imperialisme negara-negara Barat di kawasan Asia dan memberikan celah kepada
negara Australia dan Inggris untuk mempengaruhi perpolitikan regional
Asia.
Menanggapi keputusan PBB untuk mengakui
kedaulatan Malaysia dan mengijinkan Malaysia menjadi anggota tidak tetap Dewan
Keamanan PBB, presiden Soekarno mengumumkan pengunduran diri Indonesia dari
keanggotaan PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mendirikan Konferensi Kekuatan
Baru (CONEFO) sebagai tandingan PBB dan GANEFO sebagai tandingan Olimpiade.
Pada tahun itu juga konfrontasi ini kemudian mengakibatkan pertempuran antara
pasukan Indonesia dan Malaysia (yang didukung penuh oleh Inggris).
Gerakan 30 September
Hingga 1965, PKI telah menguasai banyak
dari organisasi massa yang dibentuk Soekarno untuk memperkuat dukungan terhadap
rezimnya dan, dengan restu dari Soekarno, memulai kampanye untuk membentuk
“Angkatan Kelima” dengan mempersenjatai pendukungnya. Akan tetapi para petinggi
militer menentang hal ini.
Pada 30 September 1965, enam jendral
senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan
kepada para pengawal istana yang loyal kepada PKI. Panglima Komando Strategi
Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto, menumpas kudeta dan berbalik melawan
PKI. Soeharto lalu menggunakan situasi ini untuk mengambil alih kekuasaan.
Kemudian lebih dari puluhan ribu orang yang dituduh PKI kemudian dibunuh.
Jumlah korban jiwa pada 1966 diprediksi mencapai 500.000.
Perkembangan politik di
masa pemerintahan orde baru
Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang
MPRS yang berlangsung pada Juni-Juli 1966. diantara ketetapan yang dihasilkan
sidang tersebut ialah melarang PKI berikut ideologinya untuk tubuh dan
berkembang di Indonesia dan mengukuhkan Supersemar. Dari ketetapan tersebut,
berakibat pada setiap orang yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan,
diadili, diasingkan atau dieksekusi. Pada masa Orde Baru pula pemerintahan
menekankan stabilitas nasional dalam program politiknya dan untuk mencapai
stabilitas nasional terlebih dahulu diawali dengan apa yang disebut dengan
konsensus nasional. Ada dua macam konsensus nasional, yaitu :
1. Pertama berwujud kebulatan tekad
pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini disebut juga dengan konsensus utama.
2. Sedangkan konsensus kedua adalah konsensus
mengenai cara-cara melaksanakan konsensus utama. Artinya, konsensus kedua lahir
sebagai lanjutan dari konsensus utama dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara pemerintah dan partai-partai politik
dan masyarakat.
Mengawali masa orde baru, setelah Kabinet
Ampera terbentuk (25 Juli 1966). Selanjutnya dicanangkan UU Penanaman Modal
Asing (10 Januari 1967), kemudian Penyerahan Kekuasaan Pemerintah RI dari
Soekarno kepada Mandataris MPRS (12 Februari 1967), lalu disusul pelantikan
Soeharto (12 Maret 1967) sebagai Pejabat Presiden.
Visi utama dari pemerintahan Orde Baru ini
adalah untuk dapat menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan dapat
konsekuen didalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat di Indonesia.
Dengan kehadiran visi tersebut, Orde Baru
dapat memberikan sebuah harapan bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama yang
telah berkaitan dengan suatu perubahan politik, dari yang mempunyai sifat
otoriter yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin di bawah kepemimpinan
Presiden Soekarno agar menjadi lebih demokratis.
Harapan dari rakyat tersebut tentu saja
memiliki dasar. Presiden Soeharto yang dianggap sebagai tokoh utama masa Orde
Baru ini dipandang rakyat sebagai sesosok pahlawan yang mampu mengeluarkan
sebuah bangsa ini agar dapat keluar dari keterpurukan. Hal ini dapat dianggap
demikian karena beliau berhasil membubarkan kelompok komunis yaitu PKI, yang
pada waktu itu telah dijadikan musuh utama di negeri ini. Selain itu, beliau
juga telah berhasil menciptakan keadaan stabilitas keamanan di negeri ini pasca
pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan waktu yang relatif singkat.
Itulah yang menyebabkan beberapa anggapan yang mendasari kepercayaan rakyat
Indonesia terhadap pemerintahan Orde Baru ini di bawah kepimpinan Presiden
Soeharto.
Tetapi kemudian harapan rakyat tersebut
tidak sepenuhnya dapat terwujud. Karena apabila dilihat dan dirasakan sejatinya
di dalam negeri ini tidak ada perubahan yang substantif dari suatu kehidupan
politik di Indonesia. Antara masa Orde Baru maupun masa Orde Lama sejatinya
sama-sama otoriter. Di dalam perjalanan politik dari pemerintahan Orde Baru,
kekuasaan dari Presiden merupakan semua pusat dari seluruh proses perpolitikan
di Indonesia.
Lembaga Kepresidenan juga merupakan
pengontrol yang utama dari lembaga negara lainnya baik itu yang bersifat
suprastruktur (DPR, MPR, MA, BPK dan DPA) maupun yang bersifat infrastruktur
(LSM, Partai Politik, dan sebagainya). Selain itu, Presiden Soeharto juga
memiliki sejumlah legalitas yang tidak dapat dimiliki oleh siapapun seperti
Pengemban Supersemar, Mandataris MPR, Bapak Pembangunan, maupun Panglima
Tertinggi dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Perkembangan politik
di masa Reformasi
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada
tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian
digantikan “Era Reformasi”. Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde
Baru di jajaran pemerintahan di masa Reformasi ini sering membuat beberapa
orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era
Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai “Era Pasca Orde Baru”.
Berakhirnya rezim Orde Baru, telah membuka
kemungkinan guna menata kehidupan demokrasi. Reformasi politik, ekonomi dan
hukum merupakan agenda yang tidak dapat ditunda. Demokrasi menuntut lebih dari
sekedar pemilu. Demokrasi yang mumpuni harus dibangun melalui struktur politik
dan kelembagaan demokrasi yang sehat. Namun nampaknya tuntutan reformasi
politik, telah menempatkan pelaksanan pemilu menjadi agenda pertama.
Pemilu pertama di masa reformasi hampir
sama dengan pemilu pertama tahun 1955 diwarnai dengan keprihatinan dan kejutan.
·
Pertama, menurunnya perolehan suara Golkar.
·
Kedua, kenaikan perolehan suara PDI P.
·
Ketiga, kegagalan partai-partai Islam meraih suara
siginifikan.
·
Keempat, kegagalan PAN, yang awalnya dinilai paling
reformis, ternyata hanya menempati urutan kelima.
Kekalahan PAN, mengingatkan pada kekalahan
yang dialami Partai Sosialis, pada pemilu 1955, diprediksi akan memperoleh
suara signifikan namun lain nyatanya.
Perkembangan politik di masa Reformasi
berlangsung setelah mundurnya Soeharto hingga sekarang, dimana pada rentang
waktu tersebut telah terjadi beberapa kali pergantian pemerintahan, pada
kesempatan kali ini kita hanya akan menjelasakan Perkembangan politik di masa
Reformasi pada saat pemerintahan B.J Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati
soekarno putri dan Susilo Bambang Yudoyono.
Pemerintahan B.J Habibie
Sidang Istimewa MPR yang mengukuhkan
Habibie sebagai Presiden, ditentang oleh gelombang demonstrasi dari puluhan
ribu mahasiswa dan rakyat di Jakarta dan di kota-kota lain. Gelombang
demonstrasi ini memuncak dalam peristiwa Tragedi Semanggi, yang menelan 18
korban jiwa. Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama
dengan Dana Moneter Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan
ekonomi. Selain itu, Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap kebebasan
berekspresi dan media massa.
Presiden BJ Habibie mengambil prakarsa
untuk melakukan koreksi. Sejumlah tahanan politik dilepaskan secara
bergelombang, seperti Muchtar Pakpahan dan Sri Bintang Pamungkas. Namun setelah
Habibie membebaskan banyak tahanan politik, tahanan politik baru muncul.
Sejumlah aktivis mahasiswa diadili atas tuduhan menghina pemerintah atau
menghina kepala negara.
Beberapa langkah perubahan diambil oleh
Habibie, seperti liberalisasi parpol, kebebasan berpendapat, pemberian
kebebasan pers, dan pencabutan UU Subversi. Walaupun begitu Habibie juga sempat
tergoda meloloskan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya, namun urung dilakukan
karena besarnya tekanan politik dan kejadian Tragedi Semanggi II yang
menewaskan mahasiswa UI, Yun Hap.
Kejadian penting dalam masa pemerintahan
Habibie adalah keputusannya yang memperbolehkan Timor Timur untuk menggelar
referendum yang berakhir dengan berpisahnya wilayah tersebut dari pangkuan
Indonesia pada Oktober 1999. Keputusan tersebut terbukti tidak populer di mata
masyarakat sehingga hingga kini pun masa pemerintahan Habibie sering dianggap
sebagai salah satu masa kelam dalam sejarah Indonesia.
Namun di akhir pemerintahan habibie,
pemilu tahun 1999 dapat terlaksana dengan baik meskipun pengesahan hasil Pemilu
sempat tertunda, secara umum proses pemilu multi partai pertama di era
reformasi jauh lebih Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Luber) serta adil dan
jujur dibanding masa Orde Baru. Hampir tidak ada indikator siginifikan yang
menunjukkan bahwa rakyat menolak hasil pemilu yang berlangsung dengan aman.
Pemeintahan Abdurahman
Wahid
Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan
pada 7 Juni 1999. PDI Perjuangan pimpinan Megawati Sukarnoputri keluar sebagai
pemenang pada pemilu parlemen dengan memperoleh 34% dari seluruh suara, Golkar
(partai Soeharto – yang selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya)
mendapat 22% suara, Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%,
Partai Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%.
Kemudian pada Oktober 1999, MPR melantik
Abdurrahman Wahid / Gus Dur sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil
presiden untuk masa bakti 5 tahun. Gus Dur membentuk kabinet pertamanya,
Kabinet Persatuan Nasional pada awal November 1999 dan melakukan reshuffle
kabinetnya pada Agustus 2000.
Pemerintahan Presiden Wahid melanjutkan
proses demokratisasi dan perkembangan ekonomi di bawah situasi yang
mengkhawatirkan. Selain ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut,
pemerintahannya juga menghadapi konflik antar agama dan antar etnis, terutama
di Papua, Maluku, dan Aceh.
Di Timor Barat, masalah yang ditimbulkan
rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan yang
dilakukan para militan Timor Timur pro-Indonesia menyebabkan masalah-masalah
kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang semakin memberikan tekanan
menantang kebijakan-kebijakan Gus Dur sehingga menyebabkan perdebatan politik
yang meluap-luap.
Pemerintahan Megawati
soekarno putri
Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus
2000, Presiden Wahid memberikan laporan pertanggung jawabannya. Pada 29
Januari2001, ribuan demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar
mengundurkan diri dengan alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah
tekanan dari MPR untuk memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam
pemerintahannya, dia mengedarkan keputusan presiden yang memberikan kekuasaan
negara sehari-hari kepada wakil presiden Megawati. Megawati mengambil alih
jabatan presiden tak lama kemudian.
Pemerintahan Susilo
Bambang Yudoyono
Pemilu 2004, merupakan pemilu kedua dengan
dua agenda: pertama memilih anggota legislatif dan kedua memilih presiden.
Untuk agenda pertama terjadi kejutan, yakni naiknya kembali suara Golkar,
turunan perolehan suara PDI-P, tidak beranjaknya perolehan yang signifikan dari
partai Islam dan munculnya Partai Demokrat yang melewati PAN.
Dalam pemilihan presiden yang diikuti lima
kandidat (Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarno Putri, Wiranto, Amin Rais
dan Hamzah Haz), berlangsung dalam dua putaran, yang menempatkan pasangan SBY
dan JK, dengan meraih 60,95 persen suara sebagai pemenang. Susilo Bambang
Yudhoyono tampil sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal
masa kerjanya telah menerima berbagai hambatan dan tantangan besar, seperti
gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang meluluh lantakkan
sebagian dari Aceh serta gempa bumi lain pada awal 2005 yang mengguncang
Sumatra.
Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan
bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh
Merdeka yang bertujuan menyudahi konflik berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah
Aceh. Atas prestasi SBY yang di tanam sejak tahun 2004 telah mengantar beliau
naik kembali duduk di kursi presiden dengan pasanganya pak Budiono pada pemilu
tahun 2009.
Comments
Post a Comment