Apa Itu Wakaf?
Disampaikan Oleh
KARIMA ZAHROH,
S.Pd
Mata Pelajaran Fiqih
Silahkan Anda pelajari
uraian berikut ini dan Anda kembangkan dengan mencari materi tambahan dari
sumber belajar lainnya.
A.
Pengertian
Wakaf
Kata “Wakaf” atau
“Wacf” berasal dari bahasa Arab “Waqafa”. Asal kata “Waqafa” berarti “menahan”
atau “berhenti” atau “diam di tempat” atau tetap berdiri”. Kata
“Waqafa-Yaqifu-Waqfan” sama artinya dengan “HabasaYahbisu-Tahbisan.”[1]
Kata al-Waqf dalam bahasa Arab mengandung beberapa pengertian: اَلْوَقْفُ بِمَعْنَى الّتَحْبِيْسِ وَالّتَسْبِيْلِ
Artinya : Menahan, menahan harta untuk diwakafkan, tidak dipindah milikkan.
Menurut Istilah Ahli Fiqih
Para ahli fiqih
berbeda dalam mendefinisikan wakaf menurut istilah, sehingga mereka berbeda
pula dalam memandang hakikat wakaf itu sendiri.
Berbagai pandangan tentang wakaf menurut istilah sebagai berikut:
a.
Abu
Hanifah
Wakaf
adalah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap milik si wakif dalam
rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan. Berdasarkan definisi itu maka
pemilikan harta wakaf tidak lepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan
menariknya kembali dan ia boleh menjualnya. Jika si wakif wafat, harta tersebut
menjadi harta warisan buat ahli warisnya. Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah
“menyumbangkan manfaat”. Karena itu mazhab Hanafi mendefinisikan wakaf adalah:
“Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus tetap sebagai
hak milik, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan
(sosial), baik sekarang maupun akan datang”.
b.
Mazhab
Maliki
Mazhab
Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari
kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang
dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif
berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali
wakafnya. Perbuatan si wakif menjadikan manfaat hartanya untuk digunakan oleh
mustahiq (penerima wakaf), walaupun yang dimilikinya itu berbentuk upah, atau
menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan uang. Wakaf
dilakukan dengan mengucapkan lafadz wakaf untuk masa tertentu sesuai dengan
keinginan pemilik. Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari
pengunaan secara pemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk
tujuan kebaikan, yaitu pemberian manfaat benda secara wajar sedang benda itu
tetap menjadi milik si wakif. Perwakafan itu berlaku untuk suatu masa tertentu,
dan karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal (selamanya).
c.
Mazhab
Syafi’i dan Ahmad bin Hambal
Syafi’i
dan Ahmad berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari
kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh
melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan, seperti : perlakuan pemilik
dengan cara pemilikannya kepada yang lain, baik dengan tukaran atau tidak. Jika
wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh ahli
warisnya. Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada mauquf
‘alaih (yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana wakif tidak
dapat melarang penyaluran sumbangannya tersebut. Apabila wakif melarangnya,
maka Qadli berhak memaksanya agar memberikannya kepada mauquf ‘alaih. Karena
itu mazhab Syafi’i mendefinisikan wakaf adalah: “Tidak melakukan suatu tindakan
atas suatu benda, yang berstatus sebagai milik Allah SWT, dengan menyedekahkan
manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial)”.
d.
Mazhab
Lain
Mazhab
lain sama dengan mazhab ketiga, namun berbeda dari segi kepemilikan atas benda
yang diwakafkan yaitu menjadi milik mauquf ‘alaih (yang diberi wakaf), meskipun
mauquf ‘alaih tidak berhak melakukan suatu tindakan atas benda wakaf tersebut,
baik menjual atau menghibahkannya.[2]
B.
Kedudukan
Harta Wakaf
Dalam pandangan al-Maududi (1985)
sebagaimana dikutip oleh Imam Suhadi, bahwa pemilikan harta dalam Islam itu
harus disertai dengan tanggung jawab moral. Artinya, segala sesuatu (harta
benda) yang dimiliki oleh seseorang atau sebuah lembaga, secara moral harus diyakini
secara teologis bahwa ada sebagian dari harta tersebut menjadi hak bagi pihak
lain, yaitu untuk kesejahteraan sesama yang secara ekonomi kurang atau tidak
mampu, seperti fakir miskin, yatim piatu, manula, anak-anak terlantar dan
fasilitas sosial.
Azas keseimbangan dalam kehidupan atau
keselarasan dalam hidup merupakan azas hukum yang universal. Azas tersebut
diambil dari tujuan perwakafan. Yaitu untuk beribadah atau pengabdian kepada
Allah swt sebagai wahana komunikasi dan keseimbangan spirit antara manusia
(makhluq) dengan Allah (Khaliq). Titik keseimbangan tersebut pada gilirannya
akan menimbulkan keserasian dirinya dengan hati nuraninya untuk mewujudkan
ketenteraman dan ketertiban dalam hidup. Azas keseimbangan telah menjadi azas
pembangunan, baik di dunia maupun di akhirat, yaitu antara spirit dengan materi
dan individu dengan masyarakat banyak. Azas pemilikan harta benda adalah tidak
mutlak, tetapi dibatasi atau disertai dengan ketentuan-ketentuan yang merupakan
tanggung jawab moral akibat dari kepemilikan tersebut.
Pengaturan manusia berhubungan dengan
harta benda merupakan hal yang esensiil dalam hukum dan kehidupan manusia.
Pemilikan harta benda menyangkut bidang hukum, sedang pencarian dan pemanfaatan
harta benda menyangkut bidang ekonomi dan keduanya bertalian erat yang tidak
bisa dipisahkan. Pemilikan harta benda mengandung prinsip atau konsepsi bahwa
semua benda hakikatnya milik Allah swt. Kepemilikan dalam ajaran Islam disebut
juga amanah (kepercayaan), yang mengandung arti, bahwa harta yang dimiliki
harus dipergunakan sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh Allah. Konsepsi
tersebut sesuai dengan firman Allah :
لِلَّهِ مُلْكُ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا فِيهِنَّ ۚ
Artinya:
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya (QS :
al-Maidah : 120).
Sejalan dengan konsep kepemilikan harta
dalam Islam, maka harta yang telah diwakafkan memiliki akibat hukum, yaitu
ditarik dari lalu lintas peredaran hukum yang seterusnya menjadi milik Allah,
yang dikelola oleh perorangan dan atau lembaga Nazhir, sedangkan manfaat
bendanya digunakan untuk kepentingan umum.
Sebagai konsep sosial yang memiliki
dimensi ibadah, wakaf juga disebut amal shadaqah jariyah, dimana pahala yang
didapat oleh wakif (orang yang mewakafkan harta) akan selalu mengalir selama
harta tersebut masih ada dan bermanfaat. Untuk itu harta yang telah diikrarkan
untuk diwakafkan, maka sejak itu harta tersebut terlepas dari kepemilikan wakif
dan kemanfaatannya menjadi hak-hak penerima wakaf.
Dengan demikian, harta wakaf tersebut
menjadi amanat Allah kepada orang atau badan hukum (yang berstatus sebagai
Nazhir) untuk mengurus dan mengelolanya. Apabila seseorang mewakafkan sebidang
tanah untuk pemeliharaan lembaga pendidikan atau balai pengobatan yang dikelola
oleh suatu yayasan, misalnya, maka sejak diikrarkan sebagai harta wakaf, tanah
tersebut terlepas dari hak milik si wakif, pindah menjadi hak Allah dan
merupakan amanat pada lembaga atau yayasan yang menjadi tujuan wakaf. Sedangkan
yayasan tersebut memiliki tanggung jawab penuh untuk mengelola dan
memberdayakannya secara maksimal demi kesejahteraan masyarakat banyak.
[1] Muhammad al-Khathib, al-Iqna' (Bairut : Darul Ma'rifah), hal. 26 dan
Dr. Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islami wa 'Adillatuhu (Damaskus : Dar al-Fikr
al-Mu'ashir), hal. 7599
[2] Dr. Wahbah
az-Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islami wa 'Adillatuhu (Damaskus : Dar al-Fikr
al-Mu'ashir)
Comments
Post a Comment